“Bang, aku ingin menjadi istrimu,” pintaku pelan.
Tapi lelaki, tempat cintaku berlabuh setahun ini, bagai tak mendengar.
Ia terjerat hari-hari yang sibuk. Pergi pagi, dan pulang ketika senja
usai. Tak jarang dini hari baru pintu rumahnya terdengar berderit.
Aku tahu, karena hampir tiap malam aku menunggunya. Kesetiaan, yang membuahkan kantung yang menggelap di bawah mataku.
“Kenapa matamu, Nia? Makin hari makin tak bersinar saja. Jangan terlampau sering begadang.”
Mama, seperti juga yang lain, tak pernah mengerti alasanku berjaga tiap
malam. Tak ada yang memahami apa yang kutunggu. Kecuali Bandi, tempat
cintaku bersandar. Ia tak pernah sekalipun menyinggung soal mataku yang
kian cekung. Mungkin karena lelaki seperti dia mengerti jerih payah
orang yang mencintai. Kesetiaan yang mengalahkan penglihatan fisik.
Tidak seperti pasangan-pasangan lain, dalam angan kebanyakan orang,
kami memang berbeda. Kesibukan Bandi menafkahi keluarganya, membuat
lelaki itu harus bekerja ekstra keras. Meskipun begitu, pertemuan kami
rutin. Walaupun hanya sebentar sekali.
Di luar waktu kerjanya sebagai wartawan, lelaki itu menyempatkan diri
menulis cerpen, puisi, resensi, opini, apa saja, untuk banyak media.
Komputer, ia belum punya. Itulah mengapa Bandi rajin berlama-lama di
kantor.
Dan sebagai pasangan yang setia, aku harus mengerti.
Sosoknya yang pekerja keras, itu yang membuatku makin terpikat. Jatuh hati kian dalam. Lainnya?
“Abang bisa mengetik di rumah. Kapan saja Abang mau. Tak usah sungkan.”
Minggu sore itu, dengan baju kurung yang baru selesai dijahitkan Mama
semalam, kami berbincang sebentar di teras rumah. Tapi tawaranku yang
tak sepenuhnya tulus, hanya karena ingin bersamanya lebih sering,
ditolaknya halus.
“Jangan, Nia. Abang pulang dari kantor sudah malam. Tak enak sama orang tuamu.”
Kalimat tegasnya menunjukkan kemandirian, dan mental yang bukan aji
mumpung. Bukan tanpa alasan aku menawarinya mengetik, mengingat kami
punya lebih dari enam komputer di rumah. Paviliun rumah memang sejak
lama aku jadikan rental komputer dan warnet. Meski awalnya tak setuju
karena orangtuaku berpikir kami tak kekurangan uang, toh rental yang
kukelola kemudian berjalan semakin baik. Uang mengalir, pelanggan puas.
Di sisi lain, aku tak pernah lelah menanti Bandi pulang. Tidak masalah
apakah ia pulang lebih awal, seperti yang sesekali terjadi, atau bahkan
menjelang pagi. Sosoknya yang kukuh dengan ransel hitam di
punggungnya, tak pernah terlewat dari mataku.
*****
“Aku ingin jadi istrimu, Bang.” bisikku lagi.
Tahun kedua berlalu, dan waktu makin meluruhkan hatiku atas sosok keras
bernama Bandi. Lelaki tegap, dengan kulit kecoklatan yang baik hati
dan perhatian.
“Pagi-pagi begini sudah buka?”
Aku mengangguk. Menyembunyikan debaran jantung yang gemuruh, dan napas
tersengal karena berlari dari kamar, hanya untuk mengejar bayangnya.
“Bang Bandi pun sepagi ini sudah jalan? Biasanya jam tujuh seperempat, kan?”
Lelaki itu tertawa. Giginya yang kecil-kecil berbaris rapi. Memberikan
pemandangan yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi. Perasaan yang
membuatku seperti tak pernah merasa cukup mengambil kursus. Kemarin
belajar masak, lalu bikin kue, kemudian menjahit, ahh apa lagi?
Biarlah, yang penting aku bisa membahagiakan Bandi.
Di depanku lelaki pujaan itu masih tersenyum. Baru kemudian kusadari
sesuatu yang membuatku tersipu. Apa kataku barusan? Tujuh seperempat?
Ah, pengamatan yang sedetil itu, sungguh memalukan! pikirku terlambat.
Tapi Bandi menutup perasaanku yang tak karuan dengan senyum lebar, dan sebuah buku di tangannya.
“Untukmu, Nia. Belum terlalu lama terbit. Bagus sekali isinya tentang….”
Dan lelaki yang tadi berjalan tergesa-gesa, untuk sesaat seperti lupa
bahwa ia sedang memburu waktu. Dengan antusias, kedua tangannya
bergerak-gerak, memberiku gambaran sepintas isi buku yang disodorkannya.
Wajahnya yang semangat.
Aku menatapnya, dengan perasaan terjerembab. Kagum dengan sosoknya yang
cerdas, sekaligus merasa beruntung karena aku diberi kesempatan mencintainya.
Hari-hari kami sederhana namun indah. Ia membawakanku banyak buku, yang
kubalas dengan setoples kue-kue buatanku sendiri. Begitu indahnya
hingga tahun ketiga berlalu. Kemudian terlewat tahun keempat. Selama
itu, aku tak pernah lelah mengungkapkan dan menyatakan betapa ingin aku
menjadi istrinya.
Bandi tak pernah menjawab keinginanku. Aku menenangkan diri dengan
berbagai pikiran positif. Barangkali kesibukan, mungkin ia belum merasa
siap, ucapku menghibur hati, setiap kali perasaan ragu timbul.
Tapi kesabaran akan penantian, boleh jadi hanya milikku. Sebab Mama
kemudian seperti tak punya kerjaan lain, kecuali memburuku dengan
kalimat itu.
“Menikahlah, Nia. Apalagi yang kau tunggu?”
Bandi! Tak ada yang lain. Dan tak bisa yang lain!
Tahun berikutnya, Papa ikut mendesakku.
“Anak Om Hasnan baik, Nia. Kehidupannya pun mapan. Dia direktur termuda, di perusahaan Om Hasnan.”
Aku tidak sedikit pun tertarik. Lelaki yang kaya karena cucuran harta
orang tua, mana bisa memenangkan hatiku? pikiranku terbawa pada Bandi.
Sosoknya, kerja kerasnya, peluh keringat yang tampak jelas masih
menempel di dahinya, setiap melintasi jendela kamarku.
Anak Om Hasnan mungkin baik, tapi dia tidak seperti Bandi.
Lalu calon-calon lain disodorkan. Tetapi setiap kali, kepalaku makin
terlatih menggeleng dan melahirkan helaan napas putus asa dari Papa.
Mama mendekatiku dengan cara serupa. Menawarkan calon demi calon yang dirasanya pantas, dan mengangkat martabat orang tua.
Tapi selalu saja kutemukan nilai minus pada mereka. Gilang, tak pernah
serius. Herry terlalu adventurir, buat seorang Nia yang pecinta rumah.
Sementara Agus terlalu matematis.
Cuma Bandi;, yang cerdas dan memiliki sikap merakyat, yang merebut semua nilai plus, bahkan dalam kesederhanaannya.
Cuma Bandi, yang membuatku tak sungkan merendahkan harga diri dengan
berkali-kali mengungkapkan harapanku. Tak pernah bosan membisikkan
kalimat itu,
“Aku ingin menjadi istrimu,”
Namun seperti yang sudah-sudah, kalimatku hanya terbawa angin, dan menguap tanpa bekas.
Bandi, seperti tak menyediakan tempat, untuk sebuah pernikahan.
*****
“Cinta,”
Suatu hari kudengar kalimat itu dari bibirnya. Jelas, tanpa keraguan.
“Cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan menatap. Bukan begitu
Nia? Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih harus saling
mengemis. Cinta….”
Ia mendesah. Pandangannya nanar. Aku bisa merasakan kesedihan hatinya hari itu.
Tapi cintaku tak berkata apa-apa lagi. Ia pergi setelah lebih dulu
menyodorkan sebuah buku yang membuatku menangis berhari-hari. Sungguh,
belum pernah ada kisah asmara yang kubaca dan menorehkan begitu banyak
kesedihan, setelah Romeo dan Juliet.
“Bagus sekali, Bang. Nia sampai menangis dibuatnya.”
Bandi hanya tersenyum tipis. Tangannya yang kokoh menerima buku yang
kukembalikan. Tuhan, begitu ingin aku bersandar dalam rengkuhannya.
Tapi tangan itu selalu sopan, tak pernah menjamahku.
“Cinta itu menghormati, Nia. Cinta tak saling memanfaatkan.”
Aku mengangguk. Seperti biasa terbius oleh kata-kata Bandi. Terpesona oleh akuratnya kata dan laku lelaki itu.
Bandi tak menyentuhku, bukan tak cinta. Justru karena ia cinta.
Bukankah seperti katanya, cinta itu tak kurang ajar? Cinta menghormati?
“Bang, aku ingin menjadi istrimu,” bisikanku mulai bercampur isak. Ahh,
betapa inginnya. Kenapa Bandi tak bisa mengerti? Bukankah dua orang
yang saling menyinta harusnya saling memahami, hanya dengan memandang?
Lalu bertubi-tubi, kegembiraan yang menyedihkan itu datang.
“Kak Nia, maafkan Ita.”
Aku mengangguk. Meski sesudahnya aku perlu berhari-hari untuk menumpahkan tangis dalam diam di bantalku.
Lalu Riza, Nina, dan terakhir….
“Kak, Linda minta maaf.”
Giliran adik bungsuku meminta. Aku mengangguk. Menahan air mata yang
menggayut memberati mataku. Seharusnya aku bahagia, adik-adikku
menamatkan kisah cinta mereka lebih dini.
Pernikahan adik bungsuku dirayakan besar-besaran oleh kedua orang tua
kami. Seolah Mama dan Papa telah letih, dan memutuskan tak perlu
menyimpan sedikit pun tabungan untuk anak mereka yang sulung.
Tapi tahun memang berlalu secepat malam tiba. Aku tak menyadari kapan
Mama dan Papa mulai berhenti memintaku menikah. Yang kutahu tak ada
lagi nama-nama yang mereka sodorkan padaku. Awalnya hal itu membuatku
merasa bebas, ya…bebas menunggu Bandi. Baru kemudian kusadari hatiku
yang hempas, anehnya oleh sesuatu yang tak pernah berubah.
Bandi tak berubah sedikit pun. Masih seperti dulu. Pergi jam tujuh
seperempat, dan pulang ketika malam tenggelam. Sosoknya pun masih sama,
sabar, kuat dan perhatian.
Aku pun tak pernah berubah. Masih menemaninya dengan setia. Berdandan
rapi di pagi hari untuk melepasnya ke kantor. Malamnya, menanti
kepulangan lelaki itu meski hanya lewat gorden jendela kamarku.
Tidak tahukah Bandi bahwa kedua mataku ini hanya bisa terlelap setelah memastikan sosoknya yang gagah memasuki rumah?
Tapi ketiadaan kemajuan dalam hubungan kami tidak membuatku berhenti meminta. Seperti juga malam itu.
“Bang, aku ingin menjadi istrimu,” kataku pelan dengan air mata meleleh.
Tapi Bandi meski tetap ramah dan baik hati, seperti yang sudah-sudah
tak juga menanggapi. Padahal kesabaranku, bakti dan kesetiaanku…. Lalu
kue-kue yang selalu berganti resep setiap minggu?
“Bikin kue apalagi sepagi ini, Nia?”
Aku tak menjawab pertanyaan Mama. Sudah pukul tujuh lewat sepuluh. Lima
menit lagi Bandi akan lewat, dan aku tak boleh terlambat.
Kakiku bergegas ke pintu depan. Di tanganku, setoples kue coklat bertabur kismis, tampak manis dan menggoda.
Bersyukurlah, dalam kesederhanaan. Dalam ketiadaan. Bersyukur dengan apa yang kita miliki.
Bandi sering mengulang-ulang kalimat itu. Mungkin maksudnya supaya aku
tak lagi berulang-ulang mengucapkan kalimat itu, keinginanku untuk
menjadi istrinya. Aku mengangguk. Melambaikan tangan pada Bandi yang
pagi itu melintas dengan banyak tas di tangan.
Berikutnya adalah hari-hari yang tak kumengerti. Sebab Bandi tak pernah
kelihatan lagi. Ia lenyap dan dengan cepat kusadari ketika malam itu
hingga azan Subuh bergema, aku tak melihat lelaki tercinta itu memasuki
rumahnya.
Perasaan panik serta-merta melanda diriku. Ya Allah, sesuatu mestilah menimpa lelaki terkasih itu.
Tapi, kecuali aku, sepertinya tak ada orang lain yang merasa
kehilangan. Bahkan tidak ayah dan ibu, serta adik-adiknya yang enam
orang itu.
Aku mulai menangis. Selama beberapa hari bahkan tak ada sesuap nasi pun
yang bisa kutelan. Ketika sepekan lewat dan Bandi tak juga kembali,
aku menenggelamkan diri dalam kamar. Menguncinya dan tidak membiarkan
siapapun mengusik kesedihanku.
Bandi, sesuatu pasti terjadi pada dia! batinku tak mungkin dibohongi.
Keluarga Bandi pastilah hanya menghibur ketika mengatakan lelaki itu
mendapatkan pekerjaaan dengan gaji besar di luar negeri. Tidak mungkin
Bandi tak mengabarkan padaku informasi sepenting itu. Bukankah aku
cintanya, seperti dia cintaku?
Setiap hari, kuhabiskan waktu dengan meringkuk di kamar, sementara
mataku terus terpaku, mengintip dari balik gorden, mencari-cari bayangan
Bandi yang bisa kapan saja datang, mungkin dalam keadaan terluka. Oh
Tuhan!
Kedua mataku terasa penat karena terlalu banyak menangis dan berjaga.
Aku tak lagi ingat makan, mandi, bahkan tak peduli sama sekali dengan
kelangsungan rental yang kurintis. Bandi lebih penting dari itu semua!
Mama dan Papa serta adik-adikku tentu saja terlihat sedih. Tapi mereka
sama sekali tak paham apa yang kurasa. Gelombang kepedihan, perasaan
hampa, seolah hampir seluruh nyawaku tercerabut, membuatku tak memiliki
keinginan melakukan apapun.
Syukurnya, melewati tiga bulan dalam masa-masa berduka, setitik harapan muncul.
Bandi tak apa-apa. Perasaanku mengatakan dia masih hidup, dan bisa pulang kapan saja. Mungkin sebentar lagi.
Lalu tubuhku dirasuki tenaga baru. Hari itu kuputuskan keluar kamar.
Sinar matahari yang selama ini kumusuhi, segera saja menyipitkan mataku.
Tapi kegembiraan meledak-ledak, mengalahkan semua keengganan.
Cepat, seperti tak ingin kehilangan waktu, aku mengambil baju yang
paling baik yang kupunya, lalu berlari ke kamar mandi. Menyeka tubuhku
keras-keras dengan spon sabun, hingga bersih dan dipenuhi aroma harum
sabun. Selepas mengenakan baju, kusemprotkan minyak wangi, lalu berhias
secantik mungkin.
Orang-orang yang tak mengerti mengatakan bedakku terlalu tebal. Aku
hanya mencibir. Mereka tak memahami sosok istimewa yang kunanti.
Tapi hari itu Bandi belum pulang. Tak apa. Yang penting adalah aku
selalu siap, jika ia sewaktu-waktu datang. Bajuku harus rapi, tubuhku
harus wangi, rambutku harus selalu dikeramas tiap hari. Bedak, sedikit
lipstik kucoretkan dibibirku yang akhir-akhir ini sering pecah-pecah.
Aku tak ingin ada yang terlewat. Semua harus sempurna, ketika Bandi
pulang nanti.
Lelaki itu sudah pergi lama, ia pasti kangen padaku. Pada canda tawa
kami, pada hubungan sederhana namun indah yang selama ini terjalin. Ia
juga pasti rindu dengan kue-kueku. Ya Tuhan, sudah berapa lama aku tak
lagi membuat kue-kue dan menaruhnya di toples, untuk Bandi?
Maka sejak hari itu, telah kutekadkan, supaya tak ada hari berlalu
tanpa kue-kue baru yang kubikin. Bukankah sebentar lagi tahun baru tiba,
dan Bandi mungkin akan pulang?
Ketika tahun baru lewat, dan aku menunggui Bandi di depan pagar rumah
kami hingga kedinginan, Mama menyelimuti tubuhku yang menggigil dengan
selimut. Tapi aku tetap menunggu.
Mungkin Bandi akan pulang ketika musim liburan. Mungkin bulan puasa
tahun depan. Hmm, tidak! Aku tersenyum. Bandi akan pulang lebaran tahun
depan, pasti!
Pikiran itu membawa langkahku ke ruang dalam. Bukan ke kamar seperti
harapan kedua orang tuaku. Pikiranku padat oleh banyaknya pekerjaan yang
akan menungguku sampai Bandi pulang nanti. Membuat kue-kue kesukaan
lelaki tercinta itu. Juga baju baru. Sambil tanganku sibuk mengaduk
adonan tepung terigu bercampur gula, keju dan entah apa lagi, pikiranku
mengembara. Mengenang Bandi. Betapa rindunya.
Besok dan besoknya lagi, kesibukan yang sama menungguku. Kue-kue dan
jahitan baju baru. Setiap hari. Aku ingin siap ketika Bandi pulang. Aku
ingin rapi, ingin cantik.
Sedikit pun tak ada kesangsian akan kesetiaan Bandi padaku. Meski
terdengar kabar Bandi telah menikah, atau Bandi sudah betah di luar
negeri dan tak ingin kembali, aku tak pernah percaya.
Suatu hari Bandi akan pulang dan memenuhi permintaanku untuk menjadi
istrinya. Seperti yang selama ini selalu kubisikkan dalam hatiku
menjelang tidur.
“Bang, aku ingin menjadi istrimu.”
Dan aku tahu, Bandi mengerti perasaanku sepenuhnya. Permintaanku.
Sebab cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan memandang. (Bukan
begitu Nia?) Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih saling
mengemis. Cinta….
* diambil dari kumpulan cerpen: Aku Ingin Menjadi Istrimu, Asma Nadia dan Birulaut, Lingkar Pena 2004
Kamis, 24 Oktober 2013
Anda Tetap Mulia Bersama Para Penerima Cobaan
Tengoklah kanan kiri, tidakkah Anda menyaksikan betapa banyaknya orang
yang sedang mendapat cobaan, dan betapa banyaknya orang yang sedang
tertimpa bencana? Telusurilah, di setiap rumah pasti ada yang merintih,
dan setiap pipi pasti pernah basah oleh air mata. Sungguh, betapa
banyaknya penderitaan yang terjadi, dan betapa banyak pula orang-orang
yang sabar menghadapinya. Maka Anda bukan hanya satu-satunya orang yang
mendapat cobaan. Bahkan, mungkin saja penderitaan atau cobaan Anda tidak
seberapa bila dibandingkan dengan cobaan orang lain.
Berapa banyak di dunia ini orang yang terbaring sakit diatas ranjang selama bertahun-tahun dan hanya mampu membolak-balikkan badannya, lalu merintih kesakitan dan menjerit menahan nyeri. Berapa banyak orang yang dipenjara selama bertahun-tahun tanpa pernah dapat melihat cahaya matahari sekalipun, dan ia hanya mengenal jeruji-jeruji selnya.
Berapa banyak orang tua yang harus kehilangan buah hatinya, baik yang masih belia dan lucu-lucunya, atau yang sudah remaja dan penuh harapan. Betapa banyaknya di dunia ini orang yang menderita, mendapat ujian dan cobaan, belum lagi mereka yang harus setiap saat menahan himpitan hidup. Kini, sudah tiba waktu Anda untuk memandang diri Anda mulia bersama mereka yang terkena musibah dan mendapat cobaan. Sudah tiba pula waktu Anda untuk menyadari bahwasanya kehidupan di dunia ini merupakan penjara bagi orang-orang mukmin dan tempat kesusahan dan cobaan. Di pagi hari, istana-istana kehidupan penuh sesak dengan penghuninya, namun menjelang senja istana-istana itu ambruk menjadi reruntuhan. Mungkin saat ini kekuatan masih prima, badan masih sehat, harta melimpah, dan keturunan banyak jumlahnya. Namun dalam hitungan hari saja semuanya bisa berubah : jatuh miskin, kematian datang secara tiba-tiba, perpisahan yang tak bisa dihindarkan, dan sakit yang tiba-tiba menyerang.
Berapa banyak di dunia ini orang yang terbaring sakit diatas ranjang selama bertahun-tahun dan hanya mampu membolak-balikkan badannya, lalu merintih kesakitan dan menjerit menahan nyeri. Berapa banyak orang yang dipenjara selama bertahun-tahun tanpa pernah dapat melihat cahaya matahari sekalipun, dan ia hanya mengenal jeruji-jeruji selnya.
Berapa banyak orang tua yang harus kehilangan buah hatinya, baik yang masih belia dan lucu-lucunya, atau yang sudah remaja dan penuh harapan. Betapa banyaknya di dunia ini orang yang menderita, mendapat ujian dan cobaan, belum lagi mereka yang harus setiap saat menahan himpitan hidup. Kini, sudah tiba waktu Anda untuk memandang diri Anda mulia bersama mereka yang terkena musibah dan mendapat cobaan. Sudah tiba pula waktu Anda untuk menyadari bahwasanya kehidupan di dunia ini merupakan penjara bagi orang-orang mukmin dan tempat kesusahan dan cobaan. Di pagi hari, istana-istana kehidupan penuh sesak dengan penghuninya, namun menjelang senja istana-istana itu ambruk menjadi reruntuhan. Mungkin saat ini kekuatan masih prima, badan masih sehat, harta melimpah, dan keturunan banyak jumlahnya. Namun dalam hitungan hari saja semuanya bisa berubah : jatuh miskin, kematian datang secara tiba-tiba, perpisahan yang tak bisa dihindarkan, dan sakit yang tiba-tiba menyerang.
Dan, telah nyata bagimu bagaimana Kami berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan. (QS. Ibrahim: 45)
Sebaiknya Anda mempersiapkan diri sebagaimana kesiapan seekor unta
berpengalaman yang akan mengiringi Anda menyeberangi padang sahara.
Bandingkan penderitaan Anda dengan penderitaan orang-orang di sekitar
Anda dan orang-orang sebelum Anda, niscaya Anda akan sadar bahwa Anda
sebenarnya lebih beruntung dibanding mereka. Bahkan, Anda akan merasakan
bahwa penderitaan Anda itu hanyalah duri-duri kecil yang tak ada
artinya. Maka, panjatkan segala pujian kepada Allah atas semua
kebaikan-Nya itu, bersyukurlah kepada-Nya atas semua yang diberikan
kepada Anda, bersabarlah atas semua yang diambil-Nya, dan yakinilah
kemuliaan Anda bersama orang-orang menderita di sekitar Anda.
Banyak suri tauladan Rasulullah s.a.w. yang perlu Anda contoh. Syahdan, beliau pernah dilempar kotoran unta oleh orang-orang kafir Makkah, kedua kakinya dicederai dan wajahnya mereka lukai. Dikepung dalam suatu kaum beberapa lama hingga beliau hanya dapat makan dedaunan apa adanya saja, diusir dari Makkah, dipukul gerahamnya hingga retak, dicemarkan kehormatan isterinya, tujuh puluh sahabatnya terbunuh, dan seorang putera serta sebagian besar puterinya meninggal dunia pada saat beliau sedang senang-senangnya membelai mereka. Bahkan, karena terlalu laparnya, beliau pernah mengikatkan batu di perutnya untuk menahan lapar. Beliau pernah pula dituduh sebagai seorang penyair (bukan penyampai wahyu Allah), dukun, orang gila dan pembohong. Namun, Allah melindunginya dari semua itu. Dan semua hal tadi merupakan cobaan yang harus beliau hadapi dan penyucian jiwa yang tiada tara dan tandingannya.
Sebelum itu, Nabi Zakariya dibunuh kaumnya, Nabi Yahya dijagal, Nabi Musa diusir dan dikejar-kejar, dan Ibrahim dibakar. Cobaan-cobaan itu juga menimpa para khalifah dan pemimpin kita; Umar r.a. dilumuri dengan darahnya sendiri, Utsman dibunuh diam-diam, dan Ali ditikam dari belakang. Dan masih banyak lagi para pemimpin kita yang juga harus menerima punggungnya penuh bekas cambukan, dijebloskan ke dalam penjara, dan juga dibuang ke negari lain.
Banyak suri tauladan Rasulullah s.a.w. yang perlu Anda contoh. Syahdan, beliau pernah dilempar kotoran unta oleh orang-orang kafir Makkah, kedua kakinya dicederai dan wajahnya mereka lukai. Dikepung dalam suatu kaum beberapa lama hingga beliau hanya dapat makan dedaunan apa adanya saja, diusir dari Makkah, dipukul gerahamnya hingga retak, dicemarkan kehormatan isterinya, tujuh puluh sahabatnya terbunuh, dan seorang putera serta sebagian besar puterinya meninggal dunia pada saat beliau sedang senang-senangnya membelai mereka. Bahkan, karena terlalu laparnya, beliau pernah mengikatkan batu di perutnya untuk menahan lapar. Beliau pernah pula dituduh sebagai seorang penyair (bukan penyampai wahyu Allah), dukun, orang gila dan pembohong. Namun, Allah melindunginya dari semua itu. Dan semua hal tadi merupakan cobaan yang harus beliau hadapi dan penyucian jiwa yang tiada tara dan tandingannya.
Sebelum itu, Nabi Zakariya dibunuh kaumnya, Nabi Yahya dijagal, Nabi Musa diusir dan dikejar-kejar, dan Ibrahim dibakar. Cobaan-cobaan itu juga menimpa para khalifah dan pemimpin kita; Umar r.a. dilumuri dengan darahnya sendiri, Utsman dibunuh diam-diam, dan Ali ditikam dari belakang. Dan masih banyak lagi para pemimpin kita yang juga harus menerima punggungnya penuh bekas cambukan, dijebloskan ke dalam penjara, dan juga dibuang ke negari lain.
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang'orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan). (QS. Al-Baqarah: 214)
Langganan:
Postingan (Atom)